TRADISI ‘’PUNGLI’’
Beberapa waktu lalu
tepatnya pada bulan Oktober terjadi opersai tangkap tangan yang langsung
dihadir oleh Presiden Joko Widodo di Kementerian Perhubungan. Sontak berita ini
menjadi viral dikarenakan Presiden sempat mendatangi operasi ini. Memang akhir ini
pemerintah cukup getol dalam mensosialisasiakan tentang pemberantasan pungli,
terutama di lingkungan pemerintahan yang sedang beliau pimpin. Apakah benar
budaya yang sudah mendarah daging ini benar-benar bisa dihapus dan lenyap dari
bumi Nusantara ini ?
PUNGLI ??
Pungli
merupakan sebuah istilah yang sudah tak asing lagi di telinga kita dewasa ini.
Menurut situs
ensiklopedia bebas di internet, pungli atau pungutan liar
mempunyai arti adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya
biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut oleh pejabat atau aparat,
walaupun pungli termasuk
ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di
Indonesia. Secara sederhana pungli adalah biaya ”pelicin” bagi orang orang tertentu
yang mempunyai kepentingan. Mungkin arti tersebut hampir beda beda tipis dengan
istilah gratifikasi yang lebih keren. Atau dalam istilah yang lebih halus
sering disebut “sogokan”.
Sebenarnya langkah pemerintah di awal pembahasan ini untuk
menghapus tindakan pungutan liar perlu diapresiasi. Tindakan ini adalah sebagai
wujud langkah nyata pemerintah dalam penciptaan pemerintahan yang bersih.
Namun yang perlu
digaris bawahi adalah apakah benar praktek pungli bisa benar benar hilang dari
bumi Nusantara ini ? Jika kita menelisik lebih jauh apasih penyebab pungli bisa
terjadi ?
PENYEBAB
Praktek pungli sendiri sebenarnya lahir dari rahim sistem
yang memang menuntut para aparat hingga masyarakat melakukan tidakan tersebut.
Sebagai contoh para anggota dewan kita yang sudah menjadi rahasia umum, mereka
sering melakukan hal semacam itu, namun dalam skala yang cukup besar atau
sering disebut dengan istilah yang berbeda yaitu KKN. Mereka para anggota dewan
melakukan hal tersebut bukannya tanpa alasan, mereka melakukan hal tersebut
sebagai cara untuk “balik modal’’. Hal tersebut dikarenakan biaya politik di
Indonesia yang amat mahal. Sejak sebelum pencalonan saja mereka sudah dikenakan
biaya yang cukup mahal, dan setelah itu harus ada biaya kampanye yang nilainya
cukup membuat kita geleng kepala. Jadi secara alamiah mereka justru bekerja
untuk mengumpulkan uang sebanyak banyaknya.
Penyebab lainnya yaitu para aparat menginginkan pengahasilan
tambahan bagi diri sendiri. Hal tersebut terjadi bisa jadi karena kesejahteraan
yang kurang, atau ada hal lain seperti memenuhi gaya hidup mereka sendiri untuk
bersenang senang.
Hal-hal diatas diperparah lagi dengan adanya pemakluman dari
pihak masyarakat yang menganggap jika urusan mereka ingin lancar harus memberi
sejumlah fee tertentu. Jadi lengkap
sudah tradisi ini menjadi tradisi yang tidak lagi tabu untuk dilakukan, karena
dari pihak masyarakat dan aparat sama sama melakukannya.
SO.....
Menurut saya pribadi tradisi ini tak akan pernah hilang
apabila sistem seperti ini dipertahankan, dimana biaya politik amat mahal dan
perilaku korup terus menerus dipelihara, maka dari itu diperlukan sebuah
pembaruan yang secara mendasar dapat merubah pandangan masyarakat secara
menyeluruh.
*tulisan ini memang mungkin kurang bisa berdampak luas dan
hanya sebatas opini pribadi, namun setidaknya berkontribusi bagi perubahan bagi
masyarakat, AMINN


0 komentar:
Posting Komentar